Di mana kita berada, di situ ada Allah
[Q.S. Al-Hadiid:4]. Kalau dipikir, tidak perlu diingat lagi. [Maksudnya:
mengingat Allah itu bukan dengan diingat-ingat]. Apabila diingat, syirik
khafi. Mengingat Allah syirik khafi; mengingat diri terlebih syirik lagi.
Allah: semakin dipikir semakin salah karena Allah bukan sesuatu [sedangkan, Allah itu Pencipta segala sesuatu]. Kalau kita katakan "ini" dan "itu", semakin salah karena bertentangan dengan laysa kamitslihi syai`un. Sebaik-baiknya disadari: ada Allah itu di sama-tengah hatimu [Q.S Adz-Dzariyaat:21] "Fa ainama kuntum ma`arif turabbi bi rabbi." Bukankah Aku daripada Engkau. Kau juga daripada-Ku. Aku ini, Kaulah. "Sirri sirrihi." Aku itulah Kau. Maka dijadikan Diri-Nya [sebagai] Kosong. Mahaesa; tidak ada seumpama-Nya. Kosong itu bukan sesuatu atau benda-benda. Disebut "Allaaahu Akbar." Kata Allah itu Nama bagi Kebesaran Tuhan [bukan Nama Tuhan]. Tuhan tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af`al. Kata Allah itu Nama Kemahaesaan-Nya juga. Allah itu sudah Mahaesa. Yang disebut Mahakuasa lain lagi, yakni Diri Yang Berkuasa. Diperlihatkan-Nya Nabi naik ke langit. Yang diperlihatkan-Nya itu kemahaesaan-Nya. Naik ke langit itu ke kemahaesaan. Jelaslah bahwa manusialah yang mahaesa dengan Tuhan. Hanya manusia yang mahaesa dengan Tuhan. Manusia yang mana? Itulah Muhammad dan umat-umat Muhammad yang tahu akan hal ini. Sedangkan malaikat itu makhluk yang dikuasai-Nya, sementara itu Iblis, jin, dan setan yang dilaknat dan dimurkai-Nya. Inilah kemurkaan Allah. Mengapa manusia banyak yang gemar bermain dengan makhluk-makhluk laknatullah ini? Hai manusia, agama Islam yang dicintai-Nya. Selain Islam, dimurkai-Nya. [Q.S. Imran:19]. Dunia ini alam. Alam bukan Allah. Alam ini ciptaan Allah dan isinya pun ciptaan/Perbuatan Allah. Yang tidak diciptakan-Nya, pantat jarum yang bisa dilalui gajah. Ada yang dijadikan-Nya dengan sebab dan ada yang dijadikan-Nya tanpa sebab. Yang tidak dijadikan-Nya dengan sebab atau diadakan-Nya sendiri ialah Cahaya-Nya sendiri. Itulah Zat Mutlak atau Maharuang. Tahulah kita bahwa Maharuang itu Diri-Nya. Yang melebar dan meluas, itulah Diri Allah/Nur Ilahi. Adapun kosong yang kita pandang ini [yang kelihatan di sekeliling kita ini]: Sifat Diri-Nya. Kalau di Maharuang, tidak ada Sifat lagi: yang ada semata-mata Zat. Itulah sebabnya Zat dan Sifat itu kita tidak tahu kaifiatnya [= hal keadaan yang sebenar-benarnya]. Maharuang, bentuk dan rupanya tidak dapat dilihat, tapi suaranya ada. Siapa yang bicara itu? "Wa kallamallahu musa taklima." Yang berbicara itu Nur. Hanya Nur. Maka suara Nur itu qadim. Suara Nur itu tidak ada `ain [bentuknya] dan tidak ada bekasnya. Tidak pula meninggalkan tempat. Sekiranya suara Nur ini bertempat, tentu dapat disadap. Konyol pendapat-pendapat ilmuwan semuanya. Sadaplah kalau bisa dialog wa kallamallahu musa taklima ini kalau bisa. Meskipun suara Nur ini tidak bertempat, orang Islam bisa menyadapnya dan mendengar suara Nur. Bahkan Nur ini bisa diajak berdialog lagi sekarang juga. Kehebatan orang sebenar-benar Islam itu, salah satunya bisa mendatangkan bunga dari surga [Syaikh Abdul Qadir al-Jailani]. Orang sebenar-benar Islam, menjatuhkan meteor ke bumi pun bisa. Jasad ini air yang beku. Tidak dikarenakan suatu sebab, tetapi karena Allah. Tuhan tidak ada bayang-bayang-Nya. Kita inilah bayangan Allah. Maka kita punya bayangan. Esanya Muhammad, hiduplah tubuh. Nyawanya juga yang dinyawakan. Tubuhnya juga yang ditubuhkan. Inilah yang diartikan pada seluruh badan. Nur itu suara. Muhammad, tubuh batin. Ruh Qudus itu, inilah diri kita. Orang yang bernyawakan hewan atau setan adalah orang yang tidur begitu saja. Orang yang mengeluarkan nyawa hakiki [ketika tidur], itulah nyawa para nabi dan wali. Betulkan sebelum tidur. Ingatlah akan pesan-pesan Guru: gunakan ھ. Malaikat Rahman akan menunggu di ke-7 pintu surga. Kalau becerai nyawa dan tubuh, busuklah dia. Zat [Mutlak] itu putih tidak berwarna [putih yang bukan warna]. Bersih sebersih-bersihnya [mahasuci]. Yang sama dengan Aku, tidak binasa. [Q.S. Al-Hijr:41]. Jadi siapalah itu? Diri kita. Zat itu maqamnya Nur. Nur itu hilang di Zat. Jadi, Zat itulah Rahasia Nur. Jadi, Nur itu raib pada rahasianya, yaitu pada Zat. Zat Mutlak itu beserta Tuhan. Kalau kita esa pada Zat, beserta Tuhanlah kita. Ini dikatakan sampai pada Tuhan. Zat dan Sifat itu ada. Zat itu putih tidak berwarna; tidak berbau; tidak berasa; tidak berbentuk. Itulah disebut putih tidak berwarna. Putih yang tidak berwarna itu Mahasuci atau Diri Zat Yang Mahasuci. Putihnya Zat Allah itu, putih mukhalafah dan laysa kamitslihi sya`un. Inilah putih yang tidak ada seumpamanya. Yang dinamakan hati yang putih itu ialah hati yang suci. Hati saja sudah putih/suci, bagaimana lagi yang di dalam hati itu. Tentulah terlebih putih dan terlebih Mahasuci lagi. [kita tidak dapat memandang matahari karena silau dengan cahayanya. Cahaya milik matahari saja sudah menyilaukan, apalagi mataharinya sendiri 'kan?!] Di putih yang tidak berwarna inilah Nur "sembunyi". Nur itu nyawa. Yang berkembang biak itu Muhammad dan Adam. Nur, Muhammad, dan Adam itu kita juga. Hendaklah diesakan. Bagaimana mengesakannya? Hendaklah diam sediam-diamnya. Muhammad bersembunyi di Cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi itulah Nur. Maka Muhammad "bersembunyi" di dalam Nur. Ingat, pengajian kita ini bukan "masuk-memasuk; raib-meraib." Pengajian Pusaka Madinah kita ini: satu tidak becerai. |
Syaikh
Siradj
.
No comments:
Post a Comment