orang
naik Mekah, itulah masuk ke Kosong. Yang Kosong itu dari Wujud sampai
Wahdaniyah. Itulah yang dinamakan wukuf. Wukuf itu diam. Itulah puncak haji.
Jadi dalam wukuf itu tidak ada zikir-zikir, tidak ada baca-baca lagi. Kalau
tahu masalah diam ini, haji hakikilah dia. Bukan sekadar haji syariat lagi.
Kalau tidak tahu masalah Kosong ini, bagaimana hajinya?
Apa yang dimaksud wukuf itu? Diam.
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu. Arafah itu berada di mana kalau bukan di dalam Kosong; bertempat di Kosong. Jadi bukan sekadar wukuf di Arafah. Arafah itu sendiri di dalam Tubuh Kosong. Berbeda wukuf di Arafah dengan wukuf di Kosong.
Pergi berhaji itu apa maksudnya? wa fii anfusikum afalaa tubsirun.
Ka'bah itu bersifat Sulbiyah; Kosong ini penampang; kita ini hanya Nur. Inilah rukun yang enam: rukun haji.
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang, melainkan Kosong tembus-menembus tidak ada hijabnya. Inilah yang dikatakan pandangan Allah: tembus-menembus.
Kosong ini Zat yang terdahulu ada. Jadi orang naik haji itu puncaknya masuk ke Kosong. Jadi, Kosong ini rukun haji. Kalau tidak paham ini, hajinya baru haji wukuf Arafah. Arafah ini ada di mana kalau bukan di Tubuh Kosong? Yang benar itu kita wukuf di Arafah atau wukuf di Tubuh Arafah? Masalah wukuf ini jangan disepelekan sebab inilah puncak segala ritual haji.
"Siapa memandang dirinya putih: ihramlah dia. Hajilah dia. Usailah perjalanan ilmu dan Islamnya paripurna karena perjalanan Islam itu sampai rukun ke-6, yaitu haji."
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang. Kalau Arafahnya yang kita pandang, tidak ada bedanya dengan kita wukuf di tanah air. Sebab secara bahasa wukuf itu diam; arafah itu mengenal. Jadi wukuf di Arafah itu diam untuk mengenal. Kalau wukuf di arafah tapi tak ada pengenalan, apa bedanya dengan tidak wukuf di tanah air?!
Hakikat haji sebenarnya ialah untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Haji itu bukan untuk bisa melihat Ka'bah dari dekat lalu berfoto di depannya, bukan untuk mencium Hajar Aswad, melainkan untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan.
Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita.
Kalau tidak tahu masalah Kosong ini, bagaimana hajinya?
Apa yang dimaksud wukuf itu? Diam.
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu. Arafah itu berada di mana kalau bukan di dalam Kosong; bertempat di Kosong. Jadi bukan sekadar wukuf di Arafah. Arafah itu sendiri di dalam Tubuh Kosong. Berbeda wukuf di Arafah dengan wukuf di Kosong.
Pergi berhaji itu apa maksudnya? wa fii anfusikum afalaa tubsirun.
Ka'bah itu bersifat Sulbiyah; Kosong ini penampang; kita ini hanya Nur. Inilah rukun yang enam: rukun haji.
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang, melainkan Kosong tembus-menembus tidak ada hijabnya. Inilah yang dikatakan pandangan Allah: tembus-menembus.
Kosong ini Zat yang terdahulu ada. Jadi orang naik haji itu puncaknya masuk ke Kosong. Jadi, Kosong ini rukun haji. Kalau tidak paham ini, hajinya baru haji wukuf Arafah. Arafah ini ada di mana kalau bukan di Tubuh Kosong? Yang benar itu kita wukuf di Arafah atau wukuf di Tubuh Arafah? Masalah wukuf ini jangan disepelekan sebab inilah puncak segala ritual haji.
"Siapa memandang dirinya putih: ihramlah dia. Hajilah dia. Usailah perjalanan ilmu dan Islamnya paripurna karena perjalanan Islam itu sampai rukun ke-6, yaitu haji."
Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang. Kalau Arafahnya yang kita pandang, tidak ada bedanya dengan kita wukuf di tanah air. Sebab secara bahasa wukuf itu diam; arafah itu mengenal. Jadi wukuf di Arafah itu diam untuk mengenal. Kalau wukuf di arafah tapi tak ada pengenalan, apa bedanya dengan tidak wukuf di tanah air?!
Hakikat haji sebenarnya ialah untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Haji itu bukan untuk bisa melihat Ka'bah dari dekat lalu berfoto di depannya, bukan untuk mencium Hajar Aswad, melainkan untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan.
Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita.
Syaikh Bayazid
Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia
menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang aku lihat
cuma batu-batuan Ka'bah saja."
Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan, "yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya." Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid, "Aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...."
***
Syaikh Al-Junaid Al-Baghdadi q.s. kedatangan seorang tamu. Beliau bertanya, “Dari mana saja anda ?” Tamu itu menjawab, “Aku baru menunaikan ibadah haji”. “Sejak pertama berangkat dari rumah, apakah kamu telah meninggalkan semua dosa ?” Syaikh Al-Junaid q.s. kembali bertanya. “Belum”, tamu itu menjawab. “Berarti engkau tidak sedang dalam perjalanan ruhani. Apakah setiap beristirahat di malam hari, engkau melintasi semua maqam di jalan menuju Allah ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak menempuh perjalanan setahap demi setahap. Ketika memakai pakaian ihram, apakah engkau melepaskan sifat-sifat manusiawi seperti engkau melepaskan pakaian sehari-hari ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji (ihram). Ketika engkau singgah di ‘Arafah, apakah engkau menyaksikan (musyahadah) Allah ?” “Belum” “Berarti engkau tidak singgah di ‘Arafah. Ketika ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau telah meniadakan hawa nafsumu ?” “Belum” “Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika tawaf mengelilingi Ka’bah, apakah engkau telah menyaksikan keindahan non materil Tuhan ?” “Belum” “Berarti engkau tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika sa’i antara sofa dan marwa, apakah engkau telah menggapai kesucian dan kebajikan ?” “Belum“ “Berarti engkau tidak sa’i antara sofa dan marwa. Ketika sampai ke Mina, apakah keinginanmu telah sirna ?” “Tidak” “Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika sampai di tempat penyembelihan kurban, apakah engkau mengurbankan segala hawa nafsu ?” “Tidak” “Berarti engkau belum berkurban. Ketika melempar batu jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu ?” “Belum” “Berarti engkau belum melaksanakan jumrah. Engkau belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah ! lakukan ibadah haji seperti yang aku gambarkan agar engkau bisa sampai ke maqam Ibrahim” |
Jadi haji itu untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan.
Wahai Anda yang sudah bergelar haji, sudah dapat ihram-nya belum?
Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita.
Wahai Saudara-saudaraku yang belum mampu pergi berhaji secara syariat, jangan berputus-asa.
Firman Allah, berhaji itu bagi yang mampu. Kalau belum mampu pergi haji secara syariat, berusahalah pergi haji secara hakiki. Guru kami, Syaikh Undang Siradj, menjamin Anda meraih haji. Pasti haji. Bahkan gelar haji yang ini dibawa sampai ke akhirat. Makanya setiap habis shalat itu biasakan wukuf dulu. Setiap habis shalat itu biasakan bertafakur-hakiki dulu: diam dulu. Bagaimana diam yang dimaksud itu? Nanti kami uraikan. Ini bukan olok-olok karena pengetahuannya ada.
Wahai kaum awan, janganlah terlalu awam benar. Ketahuilah masalah haji hakiki ini.
Wahai kaum yang membangga-banggakan gelar haji. Kalau sekadar haji syariat, buat apa? Ini bukan mau membunuh rukun Islam, bukan mau membunuh syariat pergi berhaji ke tanah suci.
- Orang yang meraih haji hakiki, kalau dia sudah berkumur dalam wudhu, tidak ada lagi bicara dengan tujuan yang kotor.
- Orang yang meraih haji hakiki, kalau sudah membasuh kepala dalam wudhu, tidak ada lagi pikiran-pikiran untuk menipu orang dengan gelarnya.
- Orang yang meraih haji hakiki, kalau sudah lubang hidungnya terbasuh air wudhu, tidak ada lagi hidung melambung waktu orang memulakan panggilan dengan kata haji di depan namanya dan tidak ada lagi kebanggaan dalam hati, " Aku ini haji".
- Orang yang meraih haji hakiki, kalau tangannya sudah terbilas air wudhu, tidak ada lagi perbuatan yang bersifat merusak meskipun dengan alasan menegakkan yang haq.
- Orang
yang meraih haji hakiki, kalau kakinya sudah diusap air wudhi, tidak ada
lagi melangkahkan kaki ke tempat maksiat.
Kalau ada haji yang masih berbicara dengan tujuan muslihat-kotor; berpikir untuk menipu orang, berbangga diri, berbuat kerusakan, dan berjalan ke tempat maksiat zahir dan maksiat batin, itu tanda-tanda haji yang batal.
Haji syariat dan haji hakiki berbeda bagai siang dan malam; bagai langit dan bumi.
Sikap seorang haji hakiki itu, yang jahat dinasihati, bukan dirusak. Baru bisa kelihatan Islam itu kuat karena bersifat menasihati. Haji-haji itu mestinya jadi penasihat orang maksiat, bukan jadi perusak tempat-tempat maksiat.
Syaikh Siradj
.
No comments:
Post a Comment