Maharuang
itu filsafat. Dalam hati itu sirr hati. Ini tasawwuf. Ahli ushul di
mulut saja. Tentang Tuhan itu, hanya mengerti saja tentang Tuhan itu. Jangan
membaharukan-Nya. Tidak boleh membaharukan Tuhan. Hanya hati yang memandang.
Hati kita yang sebenar itu putih. Betulkan jasad dulu. Baru kita akan
memandang putih diri kita.
Dalam shalat, matikan pikiran. Inilah kesimpulan nabi-nabi dan wali-wali. Shalat itu segala-galanya dimatikan. Dalam hati inilah persimpulan tubuh. Berarti kita masuk ke dalam Rahasia Allah Yang Mahakuasa. Inilah ilmu jadi. Keimanan tidak bisa tumbang. Laa ilaaha illallaah, 'tiada Tuhan melainkan Allah'. Berarti tidak ada Zat-Nya dan Sifat-Nya, melainkan Allah saja ADA. Cukup diketahui saja Allah itu. Dalam tauhid, Wujud itu satu: Yang Menjadikan dan Meng-ada-kan. Qidam, sedia yang Kosong: belum ada apa-apa; belum ada sesuatu. Baqa, kekal: yang di-ada-kan [alam dan para makhluk] sudah hancur, yang tetap sedia ada: Kosong. Mukhalafah, tidak ada persamaan dengan selain-Nya; dengan Kosong. Qiyamuhu, yang Kosong tidak memerlukan tempat. Wahdaniyah, qul hu Allahu ahad, Satu: bukan muannas [feminin] bukan muzakar [maskulin]. Dalam shalat perlu pensucian. Wajib pensucian dalam pelaksanaan shalat. Pensucian zahir dan pensucian batin. Syariat [shalat] memerlukan pensucian jasad; makrifat memerlukan pensucian hati. Pensucian jasad: air harus suci-mensucikan. Pensucian hati: pengesaan. Iman harus suci. Karamah yang diberikan sebenarnya untuk mengukuhkan selain Tuhan. Dalam pengesaan, mengukuhkan selain Tuhan merupakan kemunafikan. Jangan sampai pandangan kita dapat dikaburkan oleh sebutir zarah kekeramatan seorang wali. Dari sudut kesempurnaan, zarah adalah tabir antara kita dengan Tuhan. Kemunafikan ahli makrifat lebih baik daripada ketulusan murid. Yang merupakan tabir, kebanyakan bagi pemula-pemula adalah tabir. Kebanyakan pemula ingin memiliki karamah atau sesuatu yang melibatkan pandangan terhadap Allah, sedangkan para ahli keruhanian ingin memperoleh Pemberi karamah. Di sinilah pensucian zahir-batin harus berjalan bersama-sama. Semua aturan agama yang zahir dipadukan dengan batiniyahnya. Pensucian ruhani: mengosongkan hati dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ada orang yang pikirannya terganggu was-was dalam pensucian dengan jalan pengesaan ini [Q.S. Fushilat:54]. Ingatlah, kesehatan terkandung dalam pengetahuan. Maka jangan membersihkan dirimu yang lahiriah saja, kesucian batin pun perlu. Jangan lalai atau lupa, sucikan lahir dan batin. Banyak istigraflah bagi oran gyang menuju kebenaran. Jangan lupa, pensucian adalah langkah pertama bagi orang-orang yang ingin mengabdi pada Tuhan. Pikiran-pikiran selain Tuhan adalah tabir dan ketidaksempurnaan. Semakin memikirkan selain Tuhan, semakin ditabiri dari Tuhan. Merasa puas dengan selain Tuhan merupakan tanda terpecahnya pikiran. Maka dalam ibadah, jangan sekali pikiran ingin memperoleh sesuatu selain Tuhan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Karena pengesaan menyangkal apa saja yang dikukuhkan pengetahuan manusia tentang sesuatu selain Tuhan. Hal seperti ini bisa dibuat tanpa pengetahuan, tetapi masalah pengesaan musti dengan pengertian yang benar. Tidak ada yang bisa menciptakan alam semesta dan isi-isinya dan segala ihwal-ihwalnya selain Tuhan. Dalam pengesaan kita harus dapat memisahkan yang Qadim dari yang baharu. Ingat, tauhid dan makrifat disandarkan oada mata hati. Buah dari tauhid dan makrifat itu mukasyafah, musyahadah, dan mu`anaiyah [pembuktian nyata]. Bertauhid supaya kita mengesakan diri pada Allah. Meninggalkan segala yang baharu untuk menghadap kepada Tuhan. Kita tidak mampu menyaksikan diri yang bukan Tuhan, apalagi Diri Tuhan, kecuali kepada Tuhan. Jika seseorang bertauhid, tetapi masih menyaksikan dirinya dalam kondisi bertauhid, dia masih berpegang pada dua wujud. Berarti belum esa pada Allah yang Qadim dan Sifat Wahdaniyah-Nya yang disifatkan. Bukankah baharu bersifat rusak, tapi kita satu dalam keesaan-Nya. Dalam bertauhid, seseorang hendaknya selalu esa dengan sifat yang ditauhidkan, yakni Zat Yang Ditauhidkannya. Dijazamkannya. Sirna keberwujudannya dan terbungkus oleh cahaya tauhid. Sudah esa dengan Zat-Nya. Betul yang dirasakannya. Zat Allah atau Rahasia Allah yang berlaku. Tidak ada perbuatan makhluk atau dirinya yang berlaku. Walaupun dia shalat, karena esanya, tidak ada dirasanya perbuatan dirinya dalam shalat itu. Hanya Perbuatan Wujud Allah atau Zat Allah atau Rahasia Allah. Inilah Diri Allah. Kalau masih ada dirasanya perbuatan dirinya: dia masih berpegang kepada dua wujud. Kalau belum fana pada Zat Allah, bagaimana mau baqa dengan Tuhannya. Karena fana itu awal baqa. Setiap fana, musti ada baqa. Sampai dalam hidup sehari-hari pun. Apa saja yang dikerjakannya, tetap kekal dengan Zat Allah dan diyakininya Zat Allah itu adalah Wujud Allah dan Wujud Allah itulah Diri Allah. Jangan lagi kita katakan atau kita rasakan Zat Allah Memandang, Berkata, dan Hidup. Katakanlah yang sebenar-benarnya: Allah saja. Karena kita sudah kenal Wujud Allah itu Zat Allah; Zat Allah itu Diri Allah. Yang kita yakini, bukan diri kita sama atau menjadi Allah. Akan tetapi, yang kita yakini Wujud Allah itulah Zat Allah; Zat Allah itulah Diri Allah. Zat Allah itulah yang kita yakini sebagai Diri Allah, bukan diri kita sama atau jadi Allah. Itu Fir`aun. Kalau sudah yakin Diri Allah itu Zat Allah. Janganlah dikatakan lagi Zat Allah yang berkelakuan. Sudah Diri Allah yang Berkelakuan atau Allah yang ber-Zat, ber-Sifat, ber-Asma, dan ber-Af`al. Ingat, hakikat tauhid itu laa mawjudun illallah, 'tiada yang ada, hanya Allah. Inilah keselamatan. |
Syaikh Siradj
.
No comments:
Post a Comment